Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah lanskap ruang publik di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Individu tidak lagi menjadi audiens yang pasif. Dengan akses luas ke dunia maya, setiap individu juga bisa menjadi produsen informasi.

Lanskap baru ini mempermudah pertukaran informasi, termasuk kabar bohong atau hoax. Indonesia yang memiliki 250 juta penduduk dan diperkirakan 135 juta di antaranya memiliki koneksi ke dunia siber, menghadapi dilema.

Di satu sisi informasi dapat disebarkan dengan cepat dan massif. Di sisi lain, teknologi komunikasi dan informasi juga dapat digunakan untuk menyebarkan kabar bohong, ujaran kebencian dan fitnah, pun dengan cepat dan massif.

Menurut Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Teguh Santosa, cara terbaik memerangi kabar bohong, terutama yang disebarkan di dunia siber adalah dengan meningkatkan profesionalitas perusahaan dan wartawan media siber.

“Komunitas pers di Indonesia memahami persoalan ini. Sejak beberapa tahun belakangan kami menggalakkan Uji Kompetensi Wartawan (UKW),” ujar Teguh dalam diskusi di arena Konferensi Wartawan Dunia 2017 yang diselenggarakan Asosiasi Wartawan Korea (JAK) di Busan, Korea Selatan, Kamis malam (6/4).

Sekitar 100 wartawan dari 55 negara menghadiri Konferensi yang diselenggarakan secara marathon di Seoul, Pyeongchang, Suwon, Busan dan Incheon dari tanggal 2 hingga 8 April 2017.

Selain UKW, kata Teguh, yang juga perlu dilakukan adalah membangun asosiasi perusahaan media massa berbasis internet untuk mendorong profesionalitas perusahaan media siber yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia.

“Perusahaan media siber yang tumbuh subur dan berkembang cepat bagai jamur di musim hujan perlu dibina agar bisa mempraktikkan jurnalisme yang sehat dan tidak destruktif, apalagi menjadi mesin penyebar berita bohong dan ujaran kebencian,” ujar Teguh.

Dalam kesempatan itu Teguh memperkenalkan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang didirikan baru-baru ini dan tengah membangun jaringan hingga ke tingkat provinsi dan kota di Indonesia. Teguh dipercaya oleh sejumlah pengelola media siber untuk memimpin organisasi itu.

“Kami berharap dan bekerja keras agar organisasi ini dapat menjadi ujung tombak memerangi efek samping yang destruktif itu,” kata Teguh lagi.

Pembicara lain dalam diskusi tersebut, Editor Harian Prothom Alo dari Bangladesh, Mashiul Alam, mengatakan bahwa dalam banyak kasus profesi wartawan dibajak oleh pihak-pihak lain yang sebenarnya tidak memahami prinsip-prinsip dasar pers namun karena kemudahan teknologi bertindak bagaikan wartawan.

“Wartawan warga (citizen journalist) adalah konsep yang sangat keliru. Wartawan adalah profesi yang terukur. Tidak mudah menjadi wartawan, ada banyak teknik yang harus dipelajari dan dipahami,” ujarnya.

Pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar jurnalisme itulah, sebut dia, yang membuat kabar bohong dan ujaran kebencian bisa dengan mudah disebarkan melalui jaringan siber.

“Padahal mereka tidak mengerti teknik verifikasi atau cover both side. Mereka memanfaatkan dunia siber yang terbuka luas. Akhirnya, bukan hanya mengabaikan fakta, mereka juga berpotensi memicu kebencian,” sambungnya.

Hal lain yang mengancam profesi wartawan, masih kata Mashiul Alam, adalah perusahaan search engine dan news agregator seperti Google.

“Merekalah yang mendapatkan keuntungan terbesar sejauh ini. Adapun wartawan lama kelamaan terpinggirkan, karena karya jurnalistik hanya menjadi pelengkap saja,” demikian Mashiul Alam. ***